Apa yang ada dipikran kalian waktu denger kata Heater? Panci panas? Minuman hangat?
Heater adalah sebuah benda yang berasal dari bahasa Inggris (heat;panas) dan imbuhan –er yang mengartikan sebuah kata tersebut menjadi “Pemanas”.
Sebagai anak kos, pastinya tak asing dengan benda yang satu ini. Kalau udah punya benda yang satu ini, udah pasti banyak banget manfaat yang akan didapat. Mau bikin minuman hangat? Mau bikin kopi buat nglembur? Mau bikin air hangat buat cuci muka kalau udah selesai maskeran? Atau mau bikin mie?
Hemm….
Tak sedikit anak kos yang punya benda ini, termasuk ane sendiri. Awal masuk kuliah di Solo dan sebagai anak kos yang belum tahu apa-apa, nggak mau kalah dengan yang udah pernah nge-kos ane minta dibeliin Heater sama orangtua ane. Supaya nanti kalau pengen buat minum teh atau kopi atau susu bisa buat sendiri. Jadi kalau beli makan biar ngirit buat minum sendiri di kos-an. Padahal, pada kenyataannya, nggak jarang tu ane beli makan sekaligus beli minum di warung. Trus buat apa ane punya Heater???
Oke gini ceritanya, waktu itu masih semester satu. Ya iyalah ya, baru aja masuk ke perguruan tinggi di Solo. Setelah dapet kos-an yang menurut ane nyaman pada saat itu, (walaupun ujung-ujungnya itu jadi kandang macan yang memaksa ane harus pindah secepatnya) dengan sambutan Ibu kos yang saat itu terlihat hangat dan ramah (lagi-lagi hanya perasaan ane saja padahal sebaliknya). Pada awal menghuni kos tersebut sebenarnya sudah diperingatkan kalau mau nambah listrik musti bayar perbulannya. Eh busyet… ni kos-an apa warung makan, ada daftar harganya, bawa TV, Komputer dan laptop nambah 30 ribu perbulannya (Men, laptop aja nambah tiga puluh ribu?? Meres bu?) dan Heater nambah 25 ribu. Oh my god… segitunya orang cari duit..
Dengan polosnya, ane nekat bawa Heater, buat jaga-jaga kalau-kalau butuh minum anget di tengah malam (padahal waktu itu solo panasnya.. alamak jan… hanya orang-oreng tertentu yang pengen minuman hangat ditengah malam yang bermandikan keringat kaya orang habis aerobik 2 jam).
Biasanya nih, tradisi seorang anak kos itu pasti punya air mineral kemasan ukuran galon yang 19 liter. Dan kebetulan, harusnya mau nggak mau ane juga harus punya air galonan seperti yang lain. Karena ane itu termasuk mahluk langka, yang belum mengenal adat dan tata cara menjadi anak kos-an yang baik dan benar, maka, dalam pikiran ane saat itu adalah ane punya Heater. Yang artinya, Heater itu bisa buat air yang dimasaknya mendidih.
Kesimpulannya adalah, kalau air itu mendidih pasti air itu mateng. Dan untuk membuat air itu mateng, nggak harus dari air mineral galonan. Air keran aja ane masak sampai mendidih. Udah mendidih, berarti udah mateng dan siap saji.
Fine, satu minggu dua minggu masih aman-aman saja Heater ane. Sampai pada suatu saat ane merasakan keanehan pada Heater ane, yang kebetulan saat itu juga Heater ane adalah jenis Heater yang terbuat dari plastik yang ukurannya lumayan buat minum delapan gelas. Bukan dari bahan stainless steel, dan yang pasti, aman tidaknya bahan plastik itu belum ada jaminannya. Pada bagian logam yang berada di dalam Heater, yang semula berwarna hitam atau abu-abu itu lama-lama menjadi putih. Ada apa ini? Ane nggak tahu apa penyebabnya. Yang penting ane tetep nglanjutin buat minuman dari air keran dengan Heater ane.
Selama dua bulan di Solo, dengan berbagai pengetahuan yang sedikit bertambah, ane sempetin ngobrol-ngobrol dengan senior ane di kampus. Dan mungkin beliaunya juga punya Heater. Anak kos-an pasti punya dong, dan yang pasti nggak segedhe gentong kaya punya ane.
Dari panjang lebar obrolan kita, pada intinya sampai juga pada pembahasan perairan di Solo dan sekitarnya.
“Dek, tahu nggak jenis air di Solo itu jenis air apa?”, tanya mbak nya sambil mencuci gelas habis dipakai buat acara di kampus.
“Nggak tahu mbak, emang jenis air apa ya?”, ane tanya balik soalnya emang ane beneran nggak tahu. Ane kira semua jenis air itu sama, jenis, bentuk dan sifatnya sama kok.
“Lhoh, belum tahu juga to. Kenapa warga Solo sering gunain air PAM atau air mineral galon buat minum dan masak sehari-harinya”
“Enggak tahu mbak, soalnya kalau di kampungku semua keperluan sehari-hari ya dari sumur.” dan masih dengan wajah polos ane sambil mengoles spons sabun sunlight ke gelas.
“Jadi, jenis air di sini itu adalah air kapur. Jadi tidak baik di konsumsi. Ni lihat, gelas yang sering terkena air disini lama-lama akan mengendapkan kapur. Nah kalau sampai ini terminum apa nggak ngendap juga di perut kita?”
What??? Jadi selama ini? Ane minum air kapur….??? Oh my god, pantes aja Heater ane jadi putih di bagian besi dalamnya. Jadi itu hasil endapan kapur dari air kran. Ane minum kapur?? Gimana kalau udah ada endapan kapur diperut kaya yang diomongin mbaknya tadi? Apa yang harus ane lakuin? Just be positive thinking and All is well.
Gimana kalau tu kapur udah ngendap? Gimana kalau dalam perut ane udah ada tambang kapur ajaib kaya milik Rudy tabootie? Oke.. oke..
Semenjak dapat kabar itu, ane nggak mau masak air keran lagi. Dan ane putusin mau masak air mineral, tiap 2 hari sekali ane beli air mineral dalam botol kemasan 1,5 liter (walaupun lama-lama botolnya numpuk kaya dan siap dijual ke pemulung). Okelah nggak apa-apa, ritual masak air pake Heater tetep berlanjut.
Lama-kelamaan sepertinya Ibu kos ane yang pelitnya minta ampun mencium sebuah kejanggalan. Ditandai dengan tarif listrik yang naik, setiap seminggu sekali beliau mengadakan sidak ke kos-an siapa tahu ada yang diumpetin dari penghuninya (seperti ane misalnya, bawa Heater yang harusnya bayar 25 ribu perbulan tapi ane nggak ngaku kalau bawa tu barang). Gila aja ngaku, orang Heater nggak tiap hari digunain, dan kalau nggunain paling-paling Cuma buat segelas teh atau kopi aja masak harus bayar 25 ribu perbulannya.
Mungkin pada saat itu adalah hari sial ane, pada pagi hari ane cuci tu Heater supaya bersih dan polosnya ane, tu barang ane taruh aja di meja di depan TV dengan syahdunya yang notabene kalau beliau datang sidak pasti ketahuan. Nah.. rejeki memang nggak kemana-mana (rejeki buat Ibu kos) yang memergoki benda tersebut nagkring dengan megahnya di meja depan TV. Syoohhh…. Dengan mata tajam dan senyum sinis bahagia seperti tokoh antagonis yang senang mengetahui kelemahan lawannya si Ibu langsung menjurus ke arahku.
“Mbak, ini kamu bawa Heater ya”, kata si Ibu dengan memandang asoy Heater ane bak sedang memandang beberapa lembar uang yang menyegarkan tenggorokan saat dahaga.
“Iya bu, itu punya saya”, aduh ane terlalu polos sama orang ini.
“Wajib bayar ya, 25 ribu per bulan. Dan sepertinya kamu udah bawa dari bulan-bulan kemarin ya. Jadi bayarnya 50 ribu aja ya”
What? Apa? Lima puluh ribu aja? Apa maksud dari kata “AJA”? Loe kira duit segitu bisa keluar begitu saja saat ane bersin?
“Lho, tapi Bu, Heater itu nggak saya gunain tiap hari lho. Masa bayarnya juga segitu?”, ane coba untuk mengelak. Syukur-syukur nggak usah dipungut biaya.
“Oh, jadi kalau begitu 20 ribu perbulan aja. Jadi 40 ribu”
Oh tidaaaaakkkk… kalau bukan Ibu kos, udah ane remes tu. Udah 2 minggu nggak pulang dan belum dapet jatah kiriman. Nasib…
“Iya bu, minggu depan ya. Soalnya belum dapat kiriman dan kebetulan saya belum ada uang”
“Oh iya mbak”, si Ibu seperti tidak ikhlas. Dan ane pengen banget ngeloyor pergi dari hadapannya “Eh mbak, kalau kamu bayar sekarang emang nggak bisa to?”
OMG, ane banting juga ni ember cucian. “Ibu, saya ini sudah 2 minggu belum pulang ibu, buat makan aja susah apalagi bayar segitu”
Gondok banget ane sama Ibu-ibu, dan matanya seperti elang yang selalu ingin menerkam mangsanya. Mulai sejak itu, ane udah nggak mau pake Heater, pas pulang ke rumah benda itu ane ajak serta buat pulang. Oke, mungkin sekarang ane nggak jodoh sama yang namanya Heater. Besok-besok mending beli minum aja seribu perak udah dapet teh anget, mendingan uang segitu ane kasih ama pedagang. Daripada duapuluh lima ribu buat si ibu kacamata item itu.