Hari itu, hari
selasa siang. Sepertinya matahari tak mempunyai cukup sinar untuk menerangi
bumi pada hari Selasa itu. Rintik air hujan berirama berjatuhan turun dari
langit, diiringi nada-nada gemuruh langit dan cahaya kilat sesekali memotret
bumi. Di depan Rumahnya yang sederhana, Rani masih memegang bolpoin hitam dan
secarik kertas serta sebuah amplop. Nampaknya, dia ingin menuliskan sepucuk
surat cinta kepada seseorang yang sedang membuat dia jatuh cinta.
Air hujan masih
menari-nari di halaman rumah Rani, halaman yang penuh rerumputan dan banyak
bunga itu menjadi basah dan menggenang. Rani masih termangu sambil memegang
bolpoin hitamnya ditemani secangkir coklat panas kegemarannya. Sesekali dia
memainkan bolpoin dengan memutar-mutarkan nya di meja. Air hujan yang menari
semakin ramai, hujan semakin deras dan langit semakin bergemuruh saja hari itu.
“masih menunggu? Aku
yakin hari ini dia tidak akan datang seperti biasanya” dari dalam rumah,
terdengar suara seorang laki-laki. “mau kamu tunggu sampai kapan? Lihat hujan
turun tambah deras, dan petir juga tak sedikit kelihatannya. Mana mungkin dia
akan datang kesini”.
“aku yakin, dia akan
datang hari ini. Hanya saja tidak tepat waktu.” Ucap Rani sambil menikmati
coklat panas nya.
“Rani, mau sampai
kapan kamu seperti ini? Sejak kedua orangtuamu pergi sudah banyak yang berubah
dari dirimu, kamu bukan seperti Rani yang dulu aku kenal, kamu lebih mirip
seperti….”
“lebih mirip seperti
seorang penyair yang tak punya kertas untuk menulis sajak, seperti seorang
pelukis yang tak mempuyai kanvas dan kuas, atau seperti seorang guru yang tak
mempunyai murid kan?” Rani memotong pembicaraan laki-laki itu “aku sudah hafal
kalimat-kalimat mu itu Anto, itu terus yang kau katakan setiap kamu datang
berkunjung kemari. Sampai bosan aku mendengarnya”
Laki-laki itu adalah
Anto, teman dekat Rani semenjak SMA. Hari itu dia datang ke rumah Rani karena
membawakan sarapan untuk temannya itu, nasi gudeg.
“Ran, mau sampai
kapan kamu seperti ini terus. Terus-terus an di rumah dan menulis surat. Kapan
kamu mulai kerja lagi seperti dulu?”
“Selasa depan”,
jawab Rani singkat.
“Selasa depan? Atau
Selasa depannya lagi, bagaimana dengan bulan depan dan bulan depanya lagi?”
Anto kemudian keluar rumah dan duduk di sebelah Rani “Dari bulan yang lalu kamu
haya jawab itu Ran, Selasa depan, Selasa Depan, Selasa depan, mau berapa banya
selasa lagi Ran?”
Rani hanya diam dan
memandangi kertas putih yang dari tadi tidak dia sentuh.
“Ran,
mau sampai kapan? Sekarang kedua orang tuamu sudah tidak ada. Di sini kamu
harus tetap memperjuangkan hidup kamu biar berjalan normal seperti biasanya.
Bersosialisasi, bekerja, ngobrol, pergi keluar, belajar, buka hanya diam dan
kemudian menulis surat yang entah untuk siapa surat itu”
Rani hanya tersenyum kecil, tanpa
mempedulikan apa yang sudah dikatakan temannya itu. Entah apa yang sedang dia
pikirkan, hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Dan hujan pun dengan semangatnya
masih menari-nari diiringi alunan gemuruh dan cahaya kilat.
“Sudah
sore, huja juga sudah berhenti. Aku pamit pulang Ran. Masih banyak pekerjaan
yang harus aku selesaikan”, Anto meraih jaket dan helm nya. Sore di hari selasa
itu pun masih menyisakan air kecil yang menetes dari langit.
“To,
kalau kamu keluar nanti dan ketemu dia di jalan, sampaikan padanya bahwa aku
sudah menunggu kedatangannya seharian ini” kata Rani sambil memasukkan sepucuk
surat ke dalam amplop yang sudah ia siapkan tadi “Oh iya, sekalian aku titip
ini untuk diberikan kepadanya nanti kalau kamu ketemu” tambahnya sambil
memberikan surat yang sudah dimasukkan kedalam amplop.
Anto
menerima surat itu dan tersenyum kecil kepada Rani. Anto berpamitan pulang
kepada Rani. Dengan motor bebek tua nya, Anto pergi meninggalkan rumah Rani.
Hari
Selasa kembali datang, hari itu hujan tidak datang. Matahari dengan gagahnya
memamerkan teriknya. Dan siang itu juga, Rani sudah siap dengan bolpoin hitam,
selembar kertas putih dan sebuah amplop di meja teras rumahnya, tak lupa coklat
panas setia berada di samping kanannya.
Rani
hari itu tampak resah dan gelisah, entah apa yang menyebabkannya. Berkalli-kali
dia memainkan bolpoin nya. Tak lama kemudian, dia mulai menulis rangkaian kata
pada kertas putih itu. Rani mulai menulis kan suratnya itu.
Kekasih ku,
Apakah kamu tahu? Cinta bagiku indah
Seperti bintang dan bulan
Yang menghiasi langit di kala malam
Seperti matahari dan langit biru
Yang tak ada awan sedikitpun diantara mereka
Cinta seperti air mengalir
Selalu mengalir dan tak tahu
Apa yang menghadang di depannya
Cinta seperti burung terbang
Mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi
Berusaha terbang lebih tinggi
Dan lebih tinggi lagi
Walaupun tak sampai menyentuh langit ke
tujuh
Kekasihku,
Biarkanlah cintamu mengalir apa adanya
Biarkanlah cintamu terbang tinggi sampai ke
langit
Agar kita dapat menjadi satu
Seperti bintang dan bulan
Yang terus memberikan cahayanya
Dan tak ada satupun awan mendung
Menggelayuti cinta kita yang sedang bersinar
ini
Rani
meletakkan bolpoinnya, membaca kembali tulisannya, kalau nanti masih ada yang
salah. Setelah dirasa yakin tidak ada yang salah, kertas itu ia masukkan ke dalam amplop yang sudah
dia sediakan. Melipat kertas dengan hati-hati dan memasukkannya dengan
hati-hati. Setiap hari selasa, Rani selalu menulis surat dan mengirim kannya.
Dan setiap Selasa itu pula dia mendapat kan surat. Sekarang dia duduk termenung
di teras rumahnya itu.
Tak
lama kemudian, temannya Anto datang lagi dengan membawa sepucuk surat yang
alamatnya ditujukan kepada Rani.
“Pos,
Pos, Ran, ada surat buat kamu”, ucap Anto sambil memberikan sepucuk surat yang
memang ditujukan kepada Rani.” Ini udah Selasa Ran, dan aku tidak akan
menanyakan hal yang sama. Sekarang ini, aku sadar, kamu itu punya hak penuh
atas hidup kamu. Jadi mau bagaimana terserah kamu. Sekarang mana surat yang
akan kamu kirimkan”. Rani memberikan surat yang dimaksudkan oleh Anto.
“To,
aku kepingin punya anak” ucap Rani tiba-tiba. Anto terkejut mendengar
pernyataan temannya itu. sejenak dia melepas helm oranye nya itu dan menaruhnya
di atas motor oranye.
“Kamu
kenapa Ran, tiba-tiba bertanya seperti itu?” ucap Anto yang sangat heran mendengar ucapan temannya itu.
“Iya
To, aku pengin punya anak”, seketika mata Rani menjadi berbinar-binar. Raut
mukanya berubah menjadi sangat bahagia. Sambil meminum coklat panasnya itu,
Rani menjadi semakin berbinar-binar.
“Memang
kamu mau punya anak sama siapa?”, tanya Anto yang semakin heran dengan tingkah
Rani.
“Umurku
sudah 25 tahun To, teman-teman ku juga sudah banyak yang sudah menikah. Bahkan
ada yang sudah hamil dan ada yang sudah mempunyai anak kecil”
“Iya
Ran, tapi kamu mau menikah sama siapa? Siapa yang akan menikahimu? Siapa yang
akan menjadi bapak dari anak-anakmu nanti?”
“To,
aku membayangkan nanti ku menikah dengan seseorang. Kemudian kami membangun
sebuah keluarga kecil, mempunyai rumah sendiri, mempunyai anak-anak kecil yang
akan membuat rumah kami menjadi lebih indah,pasti aku bahagia To”, Rani semakin
terhanyut dalam angannya itu.
“Siapa
yang kamu maksud dengan seseorang itu? orang yang ada dipikiranmu sekarang?
Yang selalu kau tulis dalam pucuk surat dan surat itu kembali pada mu tiap hari
selasa?”, Anto semakin tidak mengerti dengan Rani, “Aku semakin tidak
mengenalmu Ran, kamu menulis sendiri surat cinta setiap hari selasa, kemudian
kamu mengirimnya sendiri dan anehnya kamu mengirim ke alamat rumah mu sendiri”
Anto mendekat pada Rani “Ran, mau sampai kapan Ran? Apa maksudnya kamu menulis
surat yang sebenarnya kamu tujukan pada dirimu sendiri?”
Rani
menatap Anto yang juga sedang menatap tajam kepada dirinya. Kemudian wajahnya
tertunduk melihat cangkir coklat panas yang isinya tinggal separuh saja. Rani kemudian
mengambil cangkir nya dan meminum coklatnya sampai habis.
“Entah
kenapa, dunia sekarang menjadi sepi. Hidup sendirian hanya ditemani bolpoin,
kertas, amplop dan coklat panas. Setiap hari hanya itu yang ada dipikiranku.
Sampai pada hari selasa minggu lalu, hujan yang deras itu seolah-olah
menghujaniku dengan kenangan-kenangan kecil. Dan mengajak ku untuk segera
mencari teman untuk menemani hidupku. Membangun keluarga, mempunyai anak kecil”
“Sebenarnya
bukan dunia yang menjadi sepi. Bukan mereka yang menjauhi mu, hanya saja kamu
terlalu menjauh dan merasa sepi. Surat-surat itu, yang kau tulis itu telah
menuntunku pada sesuatu yang aku cari selama ini Ran. Rani, dari dulu aku
mengenalmu. Perempuan mandiri, tegar, dan manis.” Rani masih terdiam sambil
memainkan cangir putih tempat minumnya. Sementara Anto duduk di kursi samping
meja teras rumah Rani. Sesekali Anto membasahi bibirnya dengan lidahnya dan menggerak-gerak
jari-jari nya dipangkuannya.
“Rani,
aku minta kamu jangan menulis surat lagi ya. Aku tahu bagaimana perasaanmu, apa
yang kamu inginkan, apa yang menjadi bayanganmu. Dan seandainya kamu masih
terus ingin menulis surat itu lagi, aku mohon jadikan aku sebagai penerima
surat cintamu itu”
Rani
tersenyum mendengar ucapan Anto, kemudian meletakkan cangkir puih itu di atas
meja. “To, sampai kapan pun aku akan terus menulis surat itu. saat menulis
surat itu aku merasa mempunyai seorang sahabat yang sayang kepadaku”
“Iya
Ran, tapi aku juga sahabat mu yang juga sama sayangnya kepada kamu. dan aku
nyata Ran, bukan hanya khayalan seperti yang ada dipikiranmu. Dan aku ingin
menikahimu, menjadi ayah dari anak-anakmu, membangun keluarga kecil seperti
impianmu.” Anto berlutut di hadapan Rani dan melamar Rani seketika “Ya aku tahu
Ran, aku hanyalah seorang tukan pos. sama seperti kamu,aku akan tetap terus
jadi seorang tukang pos yang akan selalu mengirim dan memberikan surat untuk
kamu setiap hari Selasa”
Rani
masih hanya tersenyum, kali ini senyuman Rani berbeda. Rani terlihat bahagia
memandang mata Anto yang tulus kepada Rani. “Iya To, aku tahu. Kamu selalu
setia menjaga suraat-suratku untukku, mungkin aku bersedia menjai ibu dari
anak-anakmu kelak dan hidup bersama membangun keluarga kecil kita”
“Jadi
kamu setuju dengan pinanganku?” Tanya Antomempertegas jawaban Rani.
“Iya
To, aku bersedia menjadi istrimu”
“Terimakasih
Ran,” Anto tersenyum puas dengan dengan jawaban Rani, kemudian Anto mencium
tangan Rani. Rani pun terlihat sangat senang dengan kehadiran Anto dalam hidupnya.
“Jadi kita menikah kapan To?, tanya Rani kemudian.
“Kita
langsung menikah Selasa depan, biar hari itu kamu bisa menulis surat untukku dan
aku juga akan langsung bisa membalas suratmu”, jawab Anto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar