Jumat, 01 Februari 2013

Suratku untukku

Hari itu, hari selasa siang. Sepertinya matahari tak mempunyai cukup sinar untuk menerangi bumi pada hari Selasa itu. Rintik air hujan berirama berjatuhan turun dari langit, diiringi nada-nada gemuruh langit dan cahaya kilat sesekali memotret bumi. Di depan Rumahnya yang sederhana, Rani masih memegang bolpoin hitam dan secarik kertas serta sebuah amplop. Nampaknya, dia ingin menuliskan sepucuk surat cinta kepada seseorang yang sedang membuat dia jatuh cinta.
Air hujan masih menari-nari di halaman rumah Rani, halaman yang penuh rerumputan dan banyak bunga itu menjadi basah dan menggenang. Rani masih termangu sambil memegang bolpoin hitamnya ditemani secangkir coklat panas kegemarannya. Sesekali dia memainkan bolpoin dengan memutar-mutarkan nya di meja. Air hujan yang menari semakin ramai, hujan semakin deras dan langit semakin bergemuruh saja hari itu.
“masih menunggu? Aku yakin hari ini dia tidak akan datang seperti biasanya” dari dalam rumah, terdengar suara seorang laki-laki. “mau kamu tunggu sampai kapan? Lihat hujan turun tambah deras, dan petir juga tak sedikit kelihatannya. Mana mungkin dia akan datang kesini”.
“aku yakin, dia akan datang hari ini. Hanya saja tidak tepat waktu.” Ucap Rani sambil menikmati coklat panas  nya.
“Rani, mau sampai kapan kamu seperti ini? Sejak kedua orangtuamu pergi sudah banyak yang berubah dari dirimu, kamu bukan seperti Rani yang dulu aku kenal, kamu lebih mirip seperti….”
“lebih mirip seperti seorang penyair yang tak punya kertas untuk menulis sajak, seperti seorang pelukis yang tak mempuyai kanvas dan kuas, atau seperti seorang guru yang tak mempunyai murid kan?” Rani memotong pembicaraan laki-laki itu “aku sudah hafal kalimat-kalimat mu itu Anto, itu terus yang kau katakan setiap kamu datang berkunjung kemari. Sampai bosan aku mendengarnya”
Laki-laki itu adalah Anto, teman dekat Rani semenjak SMA. Hari itu dia datang ke rumah Rani karena membawakan sarapan untuk temannya itu, nasi gudeg.
“Ran, mau sampai kapan kamu seperti ini terus. Terus-terus an di rumah dan menulis surat. Kapan kamu mulai kerja lagi seperti dulu?”
“Selasa depan”, jawab Rani singkat.
“Selasa depan? Atau Selasa depannya lagi, bagaimana dengan bulan depan dan bulan depanya lagi?” Anto kemudian keluar rumah dan duduk di sebelah Rani “Dari bulan yang lalu kamu haya jawab itu Ran, Selasa depan, Selasa Depan, Selasa depan, mau berapa banya selasa lagi Ran?”
Rani hanya diam dan memandangi kertas putih yang dari tadi tidak dia sentuh.
“Ran, mau sampai kapan? Sekarang kedua orang tuamu sudah tidak ada. Di sini kamu harus tetap memperjuangkan hidup kamu biar berjalan normal seperti biasanya. Bersosialisasi, bekerja, ngobrol, pergi keluar, belajar, buka hanya diam dan kemudian menulis surat yang entah untuk siapa surat itu”
Rani hanya tersenyum kecil, tanpa mempedulikan apa yang sudah dikatakan temannya itu. Entah apa yang sedang dia pikirkan, hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Dan hujan pun dengan semangatnya masih menari-nari diiringi alunan gemuruh dan cahaya kilat.
“Sudah sore, huja juga sudah berhenti. Aku pamit pulang Ran. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan”, Anto meraih jaket dan helm nya. Sore di hari selasa itu pun masih menyisakan air kecil yang menetes dari langit.
“To, kalau kamu keluar nanti dan ketemu dia di jalan, sampaikan padanya bahwa aku sudah menunggu kedatangannya seharian ini” kata Rani sambil memasukkan sepucuk surat ke dalam amplop yang sudah ia siapkan tadi “Oh iya, sekalian aku titip ini untuk diberikan kepadanya nanti kalau kamu ketemu” tambahnya sambil memberikan surat yang sudah dimasukkan kedalam amplop.
Anto menerima surat itu dan tersenyum kecil kepada Rani. Anto berpamitan pulang kepada Rani. Dengan motor bebek tua nya, Anto pergi meninggalkan rumah Rani.
Hari Selasa kembali datang, hari itu hujan tidak datang. Matahari dengan gagahnya memamerkan teriknya. Dan siang itu juga, Rani sudah siap dengan bolpoin hitam, selembar kertas putih dan sebuah amplop di meja teras rumahnya, tak lupa coklat panas setia berada di samping kanannya.
Rani hari itu tampak resah dan gelisah, entah apa yang menyebabkannya. Berkalli-kali dia memainkan bolpoin nya. Tak lama kemudian, dia mulai menulis rangkaian kata pada kertas putih itu. Rani mulai menulis kan suratnya itu.

Kekasih ku,
Apakah kamu tahu? Cinta bagiku indah
Seperti bintang dan bulan
Yang menghiasi langit di kala malam
Seperti matahari dan langit biru
Yang tak ada awan sedikitpun diantara mereka

Cinta seperti air mengalir
Selalu mengalir dan tak tahu
Apa yang menghadang di depannya
Cinta seperti burung terbang
Mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi
Berusaha terbang lebih tinggi
Dan lebih tinggi lagi
Walaupun tak sampai menyentuh langit ke tujuh

Kekasihku,
Biarkanlah cintamu mengalir apa adanya
Biarkanlah cintamu terbang tinggi sampai ke langit
Agar kita dapat menjadi satu
Seperti bintang dan bulan
Yang terus memberikan cahayanya
Dan tak ada satupun awan mendung
Menggelayuti cinta kita yang sedang bersinar ini

Rani meletakkan bolpoinnya, membaca kembali tulisannya, kalau nanti masih ada yang salah. Setelah dirasa yakin tidak ada yang salah, kertas  itu ia masukkan ke dalam amplop yang sudah dia sediakan. Melipat kertas dengan hati-hati dan memasukkannya dengan hati-hati. Setiap hari selasa, Rani selalu menulis surat dan mengirim kannya. Dan setiap Selasa itu pula dia mendapat kan surat. Sekarang dia duduk termenung di teras rumahnya itu.
Tak lama kemudian, temannya Anto datang lagi dengan membawa sepucuk surat yang alamatnya ditujukan kepada Rani.
“Pos, Pos, Ran, ada surat buat kamu”, ucap Anto sambil memberikan sepucuk surat yang memang ditujukan kepada Rani.” Ini udah Selasa Ran, dan aku tidak akan menanyakan hal yang sama. Sekarang ini, aku sadar, kamu itu punya hak penuh atas hidup kamu. Jadi mau bagaimana terserah kamu. Sekarang mana surat yang akan kamu kirimkan”. Rani memberikan surat yang dimaksudkan oleh Anto.
“To, aku kepingin punya anak” ucap Rani tiba-tiba. Anto terkejut mendengar pernyataan temannya itu. sejenak dia melepas helm oranye nya itu dan menaruhnya di atas motor oranye.
“Kamu kenapa Ran, tiba-tiba bertanya seperti itu?” ucap Anto yang  sangat heran mendengar ucapan temannya itu.
“Iya To, aku pengin punya anak”, seketika mata Rani menjadi berbinar-binar. Raut mukanya berubah menjadi sangat bahagia. Sambil meminum coklat panasnya itu, Rani menjadi semakin berbinar-binar.
“Memang kamu mau punya anak sama siapa?”, tanya Anto yang semakin heran dengan tingkah Rani.
“Umurku sudah 25 tahun To, teman-teman ku juga sudah banyak yang sudah menikah. Bahkan ada yang sudah hamil dan ada yang sudah mempunyai anak kecil”
“Iya Ran, tapi kamu mau menikah sama siapa? Siapa yang akan menikahimu? Siapa yang akan menjadi bapak dari anak-anakmu nanti?”
“To, aku membayangkan nanti ku menikah dengan seseorang. Kemudian kami membangun sebuah keluarga kecil, mempunyai rumah sendiri, mempunyai anak-anak kecil yang akan membuat rumah kami menjadi lebih indah,pasti aku bahagia To”, Rani semakin terhanyut dalam angannya itu.
“Siapa yang kamu maksud dengan seseorang itu? orang yang ada dipikiranmu sekarang? Yang selalu kau tulis dalam pucuk surat dan surat itu kembali pada mu tiap hari selasa?”, Anto semakin tidak mengerti dengan Rani, “Aku semakin tidak mengenalmu Ran, kamu menulis sendiri surat cinta setiap hari selasa, kemudian kamu mengirimnya sendiri dan anehnya kamu mengirim ke alamat rumah mu sendiri” Anto mendekat pada Rani “Ran, mau sampai kapan Ran? Apa maksudnya kamu menulis surat yang sebenarnya kamu tujukan pada dirimu sendiri?”
Rani menatap Anto yang juga sedang menatap tajam kepada dirinya. Kemudian wajahnya tertunduk melihat cangkir coklat panas yang isinya tinggal separuh saja. Rani kemudian mengambil cangkir nya dan meminum coklatnya sampai habis.
“Entah kenapa, dunia sekarang menjadi sepi. Hidup sendirian hanya ditemani bolpoin, kertas, amplop dan coklat panas. Setiap hari hanya itu yang ada dipikiranku. Sampai pada hari selasa minggu lalu, hujan yang deras itu seolah-olah menghujaniku dengan kenangan-kenangan kecil. Dan mengajak ku untuk segera mencari teman untuk menemani hidupku. Membangun keluarga, mempunyai anak kecil”
“Sebenarnya bukan dunia yang menjadi sepi. Bukan mereka yang menjauhi mu, hanya saja kamu terlalu menjauh dan merasa sepi. Surat-surat itu, yang kau tulis itu telah menuntunku pada sesuatu yang aku cari selama ini Ran. Rani, dari dulu aku mengenalmu. Perempuan mandiri, tegar, dan manis.” Rani masih terdiam sambil memainkan cangir putih tempat minumnya. Sementara Anto duduk di kursi samping meja teras rumah Rani. Sesekali Anto membasahi bibirnya dengan lidahnya dan menggerak-gerak jari-jari nya dipangkuannya.
“Rani, aku minta kamu jangan menulis surat lagi ya. Aku tahu bagaimana perasaanmu, apa yang kamu inginkan, apa yang menjadi bayanganmu. Dan seandainya kamu masih terus ingin menulis surat itu lagi, aku mohon jadikan aku sebagai penerima surat cintamu itu”
Rani tersenyum mendengar ucapan Anto, kemudian meletakkan cangkir puih itu di atas meja. “To, sampai kapan pun aku akan terus menulis surat itu. saat menulis surat itu aku merasa mempunyai seorang sahabat yang sayang kepadaku”
“Iya Ran, tapi aku juga sahabat mu yang juga sama sayangnya kepada kamu. dan aku nyata Ran, bukan hanya khayalan seperti yang ada dipikiranmu. Dan aku ingin menikahimu, menjadi ayah dari anak-anakmu, membangun keluarga kecil seperti impianmu.” Anto berlutut di hadapan Rani dan melamar Rani seketika “Ya aku tahu Ran, aku hanyalah seorang tukan pos. sama seperti kamu,aku akan tetap terus jadi seorang tukang pos yang akan selalu mengirim dan memberikan surat untuk kamu setiap hari Selasa”
Rani masih hanya tersenyum, kali ini senyuman Rani berbeda. Rani terlihat bahagia memandang mata Anto yang tulus kepada Rani. “Iya To, aku tahu. Kamu selalu setia menjaga suraat-suratku untukku, mungkin aku bersedia menjai ibu dari anak-anakmu kelak dan hidup bersama membangun keluarga kecil kita”
“Jadi kamu setuju dengan pinanganku?” Tanya Antomempertegas jawaban Rani.
“Iya To, aku bersedia menjadi istrimu”
“Terimakasih Ran,” Anto tersenyum puas dengan dengan jawaban Rani, kemudian Anto mencium tangan Rani. Rani pun terlihat sangat senang dengan kehadiran Anto dalam hidupnya. “Jadi kita menikah kapan To?, tanya Rani kemudian.
“Kita langsung menikah Selasa depan, biar hari itu kamu bisa menulis surat untukku dan aku juga akan langsung bisa membalas suratmu”, jawab Anto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar